![]() |
Fhoto : Kantor Dinas Kesehatan dan RSUD Menggala Yang Mementingkan Biaya Daripada Nyawa Pasien |
Redaksi : HNNews.com
Selasa,15, April,2025
Tulang Bawang — Polemik pelayanan kesehatan kembali mencuat ke publik. Kali ini, sorotan tajam datang dari Ketua DPC Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Kabupaten Tulang Bawang (TUBA), Andre Yadi, atas dugaan pengabaian terhadap pasien kritis di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Menggala. Kasus ini viral setelah Andre, yang juga adik kandung dari almarhum pasien Hendrik, menyampaikan protes keras terhadap keputusan pemindahan pasien dalam kondisi kritis dari ruang ICU ke ruang rawat inap kelas 3.
“Pasien dipindahkan dari ICU ke ruang inap dalam kondisi belum sadar dan belum pulih. Alasan pihak RS cuma soal biaya, bukan kondisi medis,” ujar Andre, Senin (14/4/2025).
Menurut Andre, pihak RSUD Menggala menyampaikan bahwa pemindahan dilakukan agar biaya rumah sakit tidak membengkak, apalagi status kepesertaan BPJS almarhum belum dipastikan. “Pihak rumah sakit bilang, obat dan dokter tetap sama, hanya beda ruangan. Ini sungguh ironis, nyawa manusia jadi urusan pilihan biaya,” tegasnya.
Lebih mengejutkan, saat pihak keluarga lain mendapat bantuan langsung dari Wakil Bupati Tulang Bawang, Hamka, proses aktivasi BPJS mandiri bisa dilakukan seketika. Sementara Andre, yang telah seminggu lebih mengurus BPJS almarhum melalui Dinas Kesehatan, justru dihambat oleh oknum berinisial EL dari bidang pelayanan kesehatan.
“Saya heran, apa bedanya saya dengan yang dibantu langsung wakil bupati? Saya langsung ke Kadis Kesehatan, tapi justru diduga diabaikan. Bahkan WhatsApp saya diblokir oleh oknum EL,” ungkap Andre dengan nada kecewa.
Pernyataan Andre semakin diperkuat oleh Joni Sanjaya, Ketua DPD LBH PKR, yang turut membantu pengurusan BPJS. Ia mengaku menerima intimidasi dari oknum EL melalui pesan WhatsApp. “Saya dituding terlalu banyak ngurus BPJS. Padahal saya hanya mendampingi masyarakat yang butuh bantuan, tidak pernah urus untuk kepentingan pribadi,” ujar Joni.
Ia juga menilai bahwa proses pengaktifan BPJS sangat berbelit, bahkan disebut-sebut rawan pungli. “Ada praktik permintaan berkas berlebihan, mulai dari surat keterangan tidak mampu hingga hasil diagnosa medis. Ironisnya, pasien harus benar-benar sakit dulu baru bisa dapat BPJS aktif,” katanya.
EL, saat dikonfirmasi, menyatakan tidak ingin urusan kantor dibawa ke ranah pribadi. “Ini rumah saya, jangan datangi rumah pribadi untuk urusan kantor,” ujarnya kepada keluarga almarhum saat ditemui.
Namun, Joni menegaskan bahwa pernyataan dan perlakuan EL mencederai rasa keadilan masyarakat. “Kalau EL menuduh saya tanpa bukti, saya minta dia bisa membuktikan secara fakta, bukan hanya kata-kata,” tegas Joni.
Kasus ini menjadi tamparan keras bagi sistem pelayanan kesehatan di Kabupaten Tulang Bawang. Ketika nyawa pasien bergantung pada selembar kartu jaminan kesehatan dan ‘siapa yang merekomendasikan’, maka pertanyaan besar pun muncul: Apakah keadilan dalam pelayanan kesehatan masih hidup?
Hingga berita ini diturunkan, sekiranya pihak Dinas Kesehatan maupun RSUD Menggala dapat memberikan tanggapan resmi atas polemik tersebut.
Dalam kasus yang diangkat oleh Ketua DPC PPWI TUBA, Andre Yadi, terkait dugaan kelalaian pelayanan RSUD Menggala dan diskriminasi oleh oknum Dinas Kesehatan Tulang Bawang, setidaknya terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang berpotensi dilanggar, antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Pasal 32 ayat (1):
"Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan."
Pasal 53 ayat (1):
"Fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan non-diskriminatif."
Pasal 190:
“Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional sehingga mengakibatkan kerugian bagi orang lain dipidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.”
2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Pasal 29 huruf d:
"Rumah sakit wajib memberikan pelayanan kesehatan yang adil dan merata kepada masyarakat."
Pasal 43:
"Rumah sakit dilarang menolak pasien yang membutuhkan pertolongan gawat darurat."
Pasal 46:
"Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit."
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Pasal 11 ayat (1):
"Peserta berhak memperoleh manfaat jaminan sosial sesuai dengan program yang diikuti."
Pasal 17:
"Setiap orang dilarang menghambat pelayanan kepada peserta Jaminan Kesehatan."
Pasal 55:
"Setiap orang yang menghalangi atau menghambat peserta untuk memperoleh haknya, dipidana penjara paling lama 8 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar."
4. Permenkes Nomor 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
Disebutkan bahwa rumah sakit tidak boleh memindahkan pasien atau menolak pelayanan hanya karena alasan administratif, terutama dalam keadaan gawat darurat atau kritis.
5. Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan.
Jika terbukti ada unsur kesengajaan yang menyebabkan pasien tidak mendapat perawatan sebagaimana mestinya hingga mengakibatkan kematian, pihak terkait dapat dikenakan pidana penganiayaan yang menyebabkan hilangnya nyawa. (Tim/Red)