Namun, penting untuk dicatat bahwa pembubaran kepolisian bukanlah solusi yang mudah atau tepat. Alih-alih menuntut pembubaran, lebih bijak untuk memfokuskan perhatian pada reformasi dan penguatan lembaga ini, agar lebih sesuai dengan prinsip keadilan dan profesionalisme.
Kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian semakin menurun. Penyalahgunaan kekuasaan, tindakan yang menzalimi, bahkan upaya mengkriminalisasi masyarakat, adalah beberapa contoh nyata yang memperburuk citra institusi ini. Salah satu masalah yang sering dikeluhkan adalah prosedur pembuatan laporan. Polisi terkadang cepat tanggap dalam menerima laporan, namun sering mengabaikan laporan dari masyarakat kecil yang justru diperlakukan secara tidak adil.
Agus Chepy Kurniadi, selaku Ketua Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Jawa Barat, menyatakan bahwa membangun kembali kepercayaan terhadap institusi kepolisian bukanlah hal yang mudah. Namun, ada beberapa langkah konstruktif yang bisa diupayakan, di antaranya:
1. Mendorong transparansi dalam proses penegakan hukum.
2. Meningkatkan akuntabilitas melalui sistem pengawasan yang lebih ketat.
3. Menyediakan pelatihan yang lebih baik bagi anggota kepolisian terkait hak asasi manusia, etika, dan pelayanan publik.
4. Memberikan ruang bagi masyarakat untuk terlibat dalam pengawasan kinerja polisi.
Reformasi menyeluruh sangat diperlukan, dengan menempatkan pemimpin Polri yang kompeten dan berakhlak, mulai dari Kapolsek, Kapolres, Kapolda, hingga Kapolri.
Namun, pertanyaan yang muncul adalah siapa yang memiliki kewenangan untuk melakukan perubahan tersebut? Apakah Kapolri atau Presiden yang harus mengambil langkah untuk merubah sistem kepolisian ini?
Menanggapi hal tersebut, Agus Chepy Kurniadi, yang juga selaku pengamat kebijakan memaparkan beberapa hal.
Kewenangan untuk merombak dan mereformasi total institusi kepolisian, termasuk perubahan besar dalam struktur dan sistemnya, berada di tangan beberapa pihak, terutama:
1. Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan
Presiden memiliki kewenangan untuk menginisiasi dan mengarahkan perubahan besar terhadap lembaga-lembaga negara, termasuk kepolisian. Presiden dapat membuat kebijakan, peraturan pemerintah, atau bahkan mengusulkan undang-undang yang berkaitan dengan reformasi kepolisian.
2. DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)
DPR memiliki kewenangan legislatif untuk membuat undang-undang yang dapat mengubah struktur dan fungsi kepolisian. Jika diperlukan, mereka dapat merumuskan undang-undang baru atau mengubah undang-undang yang ada untuk mendorong reformasi yang lebih mendalam
3. Kapolri (Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia)
Kapolri memiliki peran besar dalam implementasi reformasi di dalam internal Polri. Meskipun Kapolri memiliki kewenangan administratif untuk melakukan perubahan dalam struktur dan kebijakan internal kepolisian, reformasi total yang melibatkan perubahan besar umumnya memerlukan dukungan atau instruksi dari Presiden dan DPR.
4. Masyarakat dan Lembaga Independen
Tekanan dari masyarakat, termasuk melalui organisasi-organisasi sipil, media, dan lembaga-lembaga independen yang mengawasi kepolisian, juga berperan penting dalam mendorong perubahan. Suara publik dan hasil evaluasi eksternal dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Presiden dan DPR dalam mengambil kebijakan.
Dengan demikian, meskipun Kapolri dapat melakukan reformasi dalam lingkup internal Polri, perubahan yang lebih menyeluruh dan sistemik biasanya memerlukan keterlibatan Presiden dan DPR dalam hal pembuatan kebijakan atau perubahan undang-undang. (Red)